Kamis, 25 Februari 2010

Catatan Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

Catatan Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945
Penerbangan Maut Bung Karno


Oleh: M.S. Kamah* SEPANJANG Tahun 1941-1943 Perang Dunia ke - II Jepang berada di atas angin. Sesudah menggempur Pearl Harbour Hawai pada 7 Desember 1941, Jepang dengan mudah menduduki seluruh wilayah Asia Tenggara. Lanjutannya Irian, Kepulauan Salomon,Rabaul diduduki Darwin kota paling utara Australia di bom.

Memasuki Tahun 1943 sekutu mengadakan serangan balasan. Awal tahun 1944 Jepang mulai terdesak. Kemudian Philipina direbut kembali dari tangan Jepang melalui pertempuran sengit, Okinawa diduduki Sekutu.

Walaupun sejak tahun 1944 Jepang mengalami kekalahan-kekalahan diberbagai Medan pertempuran dan wilayah - wilayah yang telah didudukinya direbut kembali oleh sekutu (Amerika serikat), tetapi wilayah Indonesia masih 98 % berada di tangan Jepang.

Di Irian (Papua)yang direbut sekutu pada tahun 1944 hanya kota Holandia (Jaya pura) dan sekitarnya, Biak dan Morotai. selebihnya tetap berada di tangan Jepang.

Sejak awal Jepang menduduki Indonesia, Jepang tahu persis Indonesia sejak tahun dua puluhan telah mengumandangkan keinginannya untuk lepas dari belenggu penjajah. Menyadari bahwa semangat kemerdekaan yang dipelopori Bung Karno ini bisa mengganggu Jepang, maka pada awal kehadirannya di Indonesia lagu kebangsaan Indonesia Raya diizinkan oleh Jepang untuk dinyanyikan di tingkat sekolah rendah (sekolah dasar) setiap pagi sebelum Taiso (olahraga) Indonesia raya berkumandang sampai ke pelosok desa. Akan tetapi tidak cukup satu tahun kemudian Indonesia Raya dilarang. Jepang bertindak kejam dimana-mana. Namun demikian, perjuangan menuju Indonesia merdeka tetap muncul ke permukaan.

Awal tahun 1945 situasi perang semakin tidak menentu. Jepang terdesak di seluruh medan tempur. Kepulauan Salomon, Irian, Morotai, Filipina dan sebagainya telah direbut kembali oleh sekutu. Bung Karno memantau dengan seksama situasi perang. Diadakan pendekatan - pendekatan khusus dengan penguasa Jepang di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. Sebaliknya Jepang menyadari bahwa kekalahan telah berada di ambang pintu menempatkan diri sebagai penguasa yang dapat mengerti arti kemerdekaan bagi sesuatu Bangsa. Awal 1945 ketika situasi perang benar-benar sangat tidak menguntungkan Jepang, Bung Karno - Bung Hatta mengadakan persiapan khusus menghadapi akhir perang dunia ke II.

Sesudah diadakan pembicaraan dengan penguasa Jepang di Indonesia diputuskan Bung Karno-Bung Hatta akan terbang menuju Indocina Saigon menemui Marsekal Tarauchi Panglima tertinggi Jepang wilayah Asia Tenggara. Maksudnya untuk membicarakan persiapan Indonesia menghadapi Kemerdekaan.

Bagi Bung Karno sendiri untuk menuju Indocina adalah suatu perjalanan sangat berat dan penuh resiko. Angkatan perang Jepang sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan di mana-mana kapal perang dan pesawat tempur Jepang dihancurkan. Namun demikian Bung Karno tetap bertekad untuk ke Indocina.

Pada saat bersiap-siap terbang ke Saigon, Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus telah diserang dengan Bom Atom oleh Amerika Serikat. Karena situasi tidak begitu jelas diputuskan perjalanan menuju Indocina dilakukan pada 9 Agustus 1945 Jepang setuju. Sebuah pesawat penumpang tua disiapkan di lapangan terbang Kemayoran.

Rombongan terdiri dari Bung Karno, Bung Hatta, Dr Radjiman (Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan Dr.R. Soeharto dokter pribadi Bung Karno.

Dr. R. Soeharto seorang dokter Indonesia dan kemudian tahun 1942 menjadi dokter pribadi Bung karno punya catatan-catatan Khusus atas pengalamannya selama mendampingi Bung Karno.

Dalam bukunya berjudul "Saksi Sejarah" Dr. R. Soeharto menulis tidak kurang 25 judul catatan khusus itu.

Menyangkut penerbangan maut Jakarta - Indocina Dr. R. Soeharto antara lain menulis.

"Pada 9 Agustus 1945 subuh dengan berbekal kopor pakaian dan obat-obatan saya sudah siap menyertai Bung Karno dan Bung Hatta dalam suatu gambling and desperate flight (penerbangan maut) keluar negeri ", catatan Soeharto.

Ketika Soeharto bertanya kepada Bung Karno, mau kemana, Bung Karno menjawab, "Rahasia".

Memang benar-benar rahasia, sebab ketika tiba di lapangan terbang Kemayoran tidak ada pengantar. Disamping Bung Karno, Bung Hatta, Dr.Radjiman dan Dr. R. Soeharto siap dekat pesawat penumpang yang punya kapasitas 25 penumpang dan sudah sangat tua itu nampak beberapa perwira Jepang, di antaranya Miyoshi penerjemah.

Melihat kondisi pesawat sangat tua, Dr.R.Soeharto bertanya dalam hati apa pesawat bisa terbang ke Indocina.

Sesudah terbang dengan goncangan-goncangan yang cukup menegangkan pesawat mendarat di Singapura. Ketika lepas dari landasan Singapura Situasi semakin gawat. Pesawat terasa oleng. Sering-sering terbang tinggi lalu meluncur ke bawah. Rupanya pesawat mau menghindar dari sergapan pesawat Sekutu.

"Pesawat yang kami tumpangi terasa zig-zag, berkali-kali tangan saya berpegang erat pada tempat duduk, dan nafas terasa sesak bilamana di kejauhan nampak asap mengepul dan bergulung-gulung, lalu pesawat kami terbang menjauh dan sengaja bersembunyi di tengah-tengah awan'', tulis Soeharto.

Ketika berada di atas kota Saigon, pesawat berputar beberapa kali dan akhirnya tidak berhasil mendarat. Rupanya ada serangan pesawat sekutu. Untuk itu pesawat mendarat di sebuah landasan darurat yang jaraknya seratus kilometer dari Saigon. Pendaratan yang dilakukan waktu malam itu benar-benar sangat mencekam.

Rombongan Bung Karno di lapangan darurat itu harus berjalan kaki dalam kegelapan. Lalu datang mobil penjemput yang juga tidak pakai lampu. Bung Karno tetap tenang-tenang saja. Malam itu Bung Karno dan rombongan menginap di bekas Istana Gubernur jenderal Perancis yang mewah.

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan Marsekal Tarauchi Panglima tertinggi Jepang Wilayah Asia Tenggara, Bung Karno siap-siap kembali ke Jakarta. Dr. R. Soeharto merasa mereka tidak bisa kembali lagi karena ada desas-sesus Jepang telah bertekuklutut. Dengan demikian Soeharto punya kesimpulan bahwa tidak akan ada lagi pesawat yang dapat digunakan untuk kembali ke Jakarta. Dari seorang perwira menengah Jepang diperoleh penjelasan singkat bahwa perang telah berakhir.

Akhirnya pada 13 Agustus 1945 pagi rombongan bertolak dari Saigon menuju Singapura dengan menggunakan pesawat pembom tua. Kalau dalam penerbangan Jakarta-Singapura-Indocina turut serta beberapa orang perwira Jepang sebagai pendamping, maka dalam penerbangan kembali tidak ada seorang pun orang Jepang turut serta selain dua orang pilot. Pesawat tidak punya tempat duduk (maklum pesawat tempur/pembom). Rombongan duduk di lantai pesawat. Ketika pesawat sudah mengangkasa Bung Karno ingin buang air kecil. Tidak ada kamar kecil. Untung ada lubang dilantai pesawat.

Pesawat tua yang sudah puluhan kali bertempur melawan pesawat sekutu terbangnya tidak stabil. Zig-zag atau turun naik, terasa sukar dikendalikan. Tiba-tiba rombongan merasa pesawat berguncang keras dan turun tajam. Tanpa pemberitahuan apa pun dari kedua pilot Jepang itu, pesawat mengadakan pendaratan darurat di sebuah lapangan terbang yang tidak diketahui oleh rombongan dimana dan apa namanya. Rupanya pesawat menghindar dari sergapan pesawat Sekutu. Sesudah itu pembom ukuran kecil itu melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Bung Karno tenang-tenang saja.

Di Singapura rombongan Bung Karno diterima oleh jenderal Itagaki, Panglima tentara Jepang di Singapura. Dari Singapura rombongan melanjutkan penerbangan menuju Jakarta dengan menggunakan pesawat penumpang.

Penerbangan Bung Karno dan rombongan ke Indocina itu digambarkan Dr. R.Soeharto sebagai penerbangan yang menegangkan dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berani menghadapi tantangan. Kesimpulannya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang punya cita-cita agung bagi masa depan manusia (bangsa).

Setibanya di Jakarta Bung Karno - Bung Hatta mengadakan pembicaraan lagi dengan beberapa Jenderal Jepang yang punya kedudukan penting, antara lain laksamana Yoichiro Shibata, Panglima Angkatan Laut Jepang di Bali. Awal Perang Shibata bermarkas di Makassar. Ketika pesawat-pesawat sekutu mulai menggempur Indonesia bagian Timur, Shibata pindah ke Bali.

Laksamana Shibata sangat pro Indonesia. Ketika terakhir Bung Karno menemukan di Bali, Jepang waktu itu telah menyerah. Namun diam-diam Shibata memberikan bantuan senjata. Maksudnya jelas mempersejatai pejuang-pejuang (pemuda) Indonesia menghadapi Belanda nanti yang sudah dapat diduga siap-siap masuk ke Indonesia lagi sesudah Jepang menyerah.

Tahun 1950 ketika Dr. R. Soeharto mengunjungi Jepang, Bung Karno menitipkan "oleh-oleh" khusus untuk Shibata. Sorharto mengunjungi kediaman Shibata di Kota Yokohama. Sangat sederhana "Saya sangat terharu", kesan Dr. R.Soeharto.

Ketika berada di Saigon, disaksikan Marsekal Tarauchi diumumkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Ketua Bung Karno dan wakil ketua Bung Hatta. Angota-anggota Dr.Rajiman, Dr.R.S.Ratulangi, Mr.Pudja, Andi Pangeran, Mr.Latuharhay, Mr. Teuku Moh.Hasan, Dr.Moh.Amir, Mr.Abdul Abbas, Sutardjo Kartohadikusumo, R.P Suroso, P.H Purboyo, G.P.H.Suryohamidjoyo, Otto Iskandardinata, Ki Bagus Hadikusumo, K.H.Wahid Hasyim, A.A Hamidan, Abdul Kadir, Prof.M.Dr.Supomo, Dr.Yap Tjiwan Bing dan penasehat Mr.R.A. Subardjo.

Read Full Article»

Rabu, 24 Februari 2010

Ikan Paus

Paus (mamalia)

Paus atau lodan (khusus yang bergigi dan bukan berukuran kecil) adalah sekelompok mamalia yang hidup di lautan. Sebutan "paus" diberikan pada anggota bangsa Cetacea yang berukuran besar. Meskipun dalam bahasa Indonesia paus sering disebut "ikan paus", paus sebenarnya bukanlah tergolong dalam keluarga ikan. Paus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Paus purba berevolusi pada pertengahan tempo Eocene, kira-kira 50 juta tahun yang lalu. Salah satu paus terawal yang telah punah adalah Basilosaurus yang mempunyai kepala kecil bermoncong menonjol dan bergigi. Basilosaurus mempunyai panjang 25 meter.

Fosil menunjukkan bahwa paus berasal dari hewan daratan berkuku, kemungkinan dari hewan seperti Mesonychid (hewan seperti serigala yang tinggal di pesisir pantai) yang berangsur-angsur kembali menghunii lautan sekitar 50 juta tahun yang lalu. Satu lagi kemungkinan hewan lain yang berubah menjadi paus, adalah Ambulocetus, mamalia seukuran anjing laut namun memiliki panjang 3 meter seberat 325 kilogram.

Pada masa kini dikenal dua kelompok paus, yaitu paus bergigi (Odontoceti) dan paus tidak bergigi (Mysticeti). Paus Odontoceti yang bergigi merupakan pemangsa yang memakan ikan, sotong, dan mamalia laut, mempunyai satu lubang pernapasan. Paus bergigi berkerabat dekat dengan lumba-lumba dan pesut. Paus tidak bergigi berukuran lebih besar daripada ikan paus bergigi dan mempunyai struktur yang dikenal sebagai balin yang berbentuk sikat. Struktur ini berguna untuk menyaring plankton, makanannnya, di air. Paus berbalin mempunyai dua lubang pernapasan.

Read Full Article»

Selasa, 23 Februari 2010

Ebiet G Ade

Ebiet G. Ade (lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, 21 April 1954; umur 55 tahun) adalah seorang penyanyi dan penulis lagu berkewarganegaraan Indonesia. Ebiet dikenal dengan lagu-lagunya yang bertemakan alam dan duka derita kelompok tersisih. Lewat lagu-lagunya yang ber-genre balada, pada awal karirnya, ia 'memotret' suasana kehidupan Indonesia di akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Tema lagunya beragam, tidak hanya tentang cinta, tetap ada juga lagu-lagu bertemakan alam, sosial-politik, bencana, religius, keluarga, dll. Sentuhan musiknya sempat mendorong pembaruan pada dunia musik pop Indonesia. Semua lagu ditulisnya sendiri, ia tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan orang lain.

Kehidupan pribadi

Terlahir dengan nama Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far di Wanadadi, Banjarnegara, merupakan anak termuda dari 6 bersaudara, anak Aboe Dja'far, seorang PNS, dan Saodah, seorang pedagang kain. Dulu ia memendam banyak cita-cita, seperti insinyur, dokter, pelukis. Semuanya melenceng, Ebiet malah jadi penyanyi -- kendati ia lebih suka disebut penyair karena latar belakangnya di dunia seni yang berawal dari kepenyairan.
Setelah lulus SD, Ebiet masuk PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Banjarnegara. Sayangnya ia tidak betah sehingga pindah ke Yogyakarta. Sekolah di SMP Muhammadiyah 3 dan melanjutkan ke SMA Muhammadiyah I. Di sana ia aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia). Namun, ia tidak dapat melanjutkan kuliah ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada karena ketiadaan biaya. Ia lebih memilih bergabung dengan grup vokal ketika ayahnya yang pensiunan memberinya opsi: Ebiet masuk FE UGM atau kakaknya yang baru ujian lulus jadi sarjana di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Nama Ebiet didapatnya dari pengalamannya kursus bahasa Inggris semasa SMA. Gurunya orang asing, biasa memanggilnya Ebiet, mungkin karena mereka mengucapkan A menjadi E. Terinspirasi dari tulisan Ebiet di bagian punggung kaos merahnya, lama-lama ia lebih sering dipanggil Ebiet oleh teman-temannya. Nama ayahnya digunakan sebagai nama belakang, disingkat AD, kemudian ditulis Ade, sesuai bunyi penyebutannya, Ebiet G. Ade. Kalau dipanjangkan, ditulis sebagai Ebiet Ghoffar Aboe Dja'far.
Sering keluyuran tidak keruan, dulu Ebiet akrab dengan lingkungan seniman muda Yogyakarta pada tahun 1971. Tampaknya, lingkungan inilah yang membentuk persiapan Ebiet untuk mengorbit. Motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas penciptaan karya-karyanya adalah ketika bersahabat dengan Emha Ainun Nadjib (penyair), Eko Tunas (cerpenis), dan E.H. Kartanegara (penulis). Malioboro menjadi semacam rumah bagi Ebiet ketika kiprah kepenyairannya diolah, karena pada masa itu banyak seniman yang berkumpul di sana.
Meski bisa membuat puisi, ia mengaku tidak bisa apabila diminta sekedar mendeklamasikan puisi. Dari ketidakmampuannya membaca puisi secara langsung itu, Ebiet mencari cara agar tetap bisa membaca puisi dengan cara yang lain, tanpa harus berdeklamasi. Caranya, dengan menggunakan musik. Musikalisasi puisi, begitu istilah yang digunakan dalam lingkungan kepenyairan, seperti yang banyak dilakukannya pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Beberapa puisi Emha bahkan sering dilantunkan Ebiet dengan petikan gitarnya. Walaupun begitu, ketika masuk dapur rekaman, tidak sebiji pun syair Emha yang ikut dinyanyikannya. Hal itu terjadi karena ia pernah diledek teman-temannya agar membuat lagu dari puisinya sendiri. Pacuan semangat dari teman-temannya ini melecut Ebiet untuk melagukan puisi-puisinya.

Karir

Ebiet pertama kali belajar gitar dari kakaknya, Ahmad Mukhodam, lalu belajar gitar di Yogyakarta dengan Kusbini. Semula ia hanya menyanyi dengan menggelar pentas seni di Senisono, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta dan juga di Jawa Tengah, memusikalisasikan puisi-puisi karya Emily Dickinson, Nobody, dan mendapat tanggapan positif dari pemirsanya. Walau begitu ia masih menganggap kegiataannya ini sebagai hobi belaka. Namun atas dorongan para sahabat dekatnya dari PSK (Persada Studi Klub yang didirikan oleh Umbu Landu Paranggi) dan juga temannya satu kos, akhirnya Ebiet bersedia juga maju ke dunia belantika musik Nusantara. Setelah berkali-kali ditolak di berbagai perusahaan rekam, akhirnya ia diterima di Jackson Record pada tahun 1979.
Jika semula Ebiet enggan meninggalkan pondokannya yang tidak jauh dari pondok keraton, maka fakta telah menunjuk jalan lurus baginya ke Jakarta. Ia melalui rekaman demi rekaman dengan sukses. Sempat juga ia melakukan rekaman di Filipina untuk mencapai hasil yang lebih baik, yakni album Camellia III. Tetapi, ia menolak merekam lagu-lagunya dalam bahasa Jepang, ketika ia mendapat kesempatan tampil di depan publik di sana.
Pernah juga ia melakukan rekaman di Capitol Records, Amerika Serikat, untuk album ke-8-nya Zaman. Ia menyertakan Addie M.S. dan Dodo Zakaria sebagai rekan yang membantu musiknya.
Lagu-lagunya menjadi trend baru dalam khasana musik pop Indonesia. Tak heran, Ebiet sempat merajai dunia musik pop Indonesia di kisaran tahun 1979-1983. Sekitar 7 tahun Ebiet mengerjakan rekaman di Jackson Record. Pada tahun 1986, perusahaan rekam yang melambungkan namanya itu tutup dan Ebiet terpaksa keluar. Ia sempat mendirikan perusahaan rekam sendiri EGA Records, yang memproduksi 3 album, Menjaring Matahari, Sketsa Rembulan Emas, dan Seraut Wajah.
Sayang, pada tahun 1990, Ebiet yang "gelisah" dengan Indonesia, akhirnya memilih "bertapa" dari hingar bingar indutri musik dan memilih berdiri di pinggiran saja. Baru pada tahun 1995 ia mengeluarkan album Kupu-Kupu Kertas (didukung oleh Ian Antono, Billy J. Budiardjo (alm), Purwacaraka, dan Erwin Gutawa) dan Cinta Sebening Embun (didukung oleh Adi Adrian dari KLa Project). Pada tahun 1996 ia mengeluarkan album Aku Ingin Pulang (didukung oleh Purwacaraka dan Embong Rahardjo). Dua tahun berikutnya ia mengeluarkan album Gamelan yang memuat 5 lagu lama yang diaransemen ulang dengan musik gamelan oleh Rizal Mantovani. Pada tahun 2000 Ebiet mengeluarkan album Balada Sinetron Cinta dan tahun 2001 ia mengeluarkan album Bahasa Langit, yang didukung oleh Andi Rianto, Erwin Gutawa dan Tohpati. Setelah album itu, Ebiet mulai lagi menyepi selama 5 tahun ke depan.
Ebiet adalah salah satu penyanyi yang mendukung album Kita Untuk Mereka, sebuah album yang dikeluarkan berkaitan dengan terjadinya tsunami 2004, bersama dengan 57 musisi lainnya. Ia memang seorang penyanyi spesialis tragedi, terbukti lagu-lagunya sering menjadi tema bencana.
Pada tahun 2007, ia mengeluarkan album baru berjudul In Love: 25th Anniversary (didukung oleh Anto Hoed), setelah 5 tahun absen rekaman. Album itu sendiri adalah peringatan buat ulang tahun pernikahan ke-25-nya, bersama pula 13 lagu lain yang masih dalam aransemen lama.

Kemunculan kembali Ebiet pada 28 September 2008 dalam acara Zona 80 di Metro TV cukup menjadi obat bagi para penggemarnya. Dengan dihadiri para sahabat di antaranya Eko Tunas, Ebiet G Ade membawakan lagu lama yang pernah popular pada dekade 80-an.
Keluarga
Menikah dengan Koespudji Rahayu Sugianto (atau lebih dikenal sebagai Yayuk Sugianto, kakak penyanyi Iis Sugianto) pada tanggal 4 Februari 1982, ia dikaruniai 4 anak, 3 laki-laki dan 1 perempuan:
• Abietyasakti "Abie" Ksatria Kinasih (lahir 8 Desember 1982)
• Aderaprabu "Dera" Lantip Trengginas (lahir 6 Januari 1986)
• Byatriasa "Yayas" Pakarti Linuwih (lahir 6 April 1987)
• Segara "Dega" Banyu Bening (lahir 11 Desember 1989).

Mereka bertempat tinggal di kawasan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Anak sulung Ebiet, Abie juga memiliki bakat musik, dan sering mewakili Ebiet dalam mengecek sound system menjelang ayahnya manggung.
Ebiet juga seorang penggemar golf, namun sejak terjadinya bencana tsunami 2004, ia tidak pernah lagi main golf.

Diskografi

Tidak seluruh album yang dikeluarkan Ebiet G. Ade berisi lagu baru. Pada tahun-tahun terakhir, ia sering mengeluarkan rilis ulang lagu-lagu lamanya, baik dengan aransemen asli maupun dengan aransemen ulang. Dan pada tahun-tahun terakhir Ebiet banyak memilih berkolaborasi dengan musisi-musisi berbakat.
Jumlah album kompilasinya yang dikeluarkan melebihi album studionya. Sejauh ini terdapat sedikitnya 25 album kompilasinya yang diterbitkan oleh berbagai perusahaan rekam.
Album studio

• Camellia I (1979)
• Camellia II (1979)
• Camellia III (1980)
• Camellia 4 (1980)
• Langkah Berikutnya (1982)
• Tokoh-Tokoh (1982)
• 1984 (1984)
• Zaman (1985)
• Isyu! (1986)
• Menjaring Matahari (1987)
• Sketsa Rembulan Emas (1988)
• Seraut Wajah (1990)
• Kupu-Kupu Kertas (1995)
• Cinta Sebening Embun (1995)
• Aku Ingin Pulang (1995)
• Gamelan (1998)
• Balada Sinetron Cinta (2000)
• Bahasa Langit (2001)
• In Love: 25th Anniversary (2007)
• Masih Ada Waktu (2008)
• Tembang Country 2 (2009)

Kompilasi

• Lagu-Lagu Terbaik I Ebiet G. Ade (1987)
• Lagu-Lagu Terbaik II Ebiet G. Ade (1987)
• Lagu-Lagu Terbaik III Ebiet G. Ade (1987)
• Lagu-Lagu Terbaik IV Ebiet G. Ade (1987)
• 20 Lagu Terpopuler Ebiet G. Ade (1988)
• Perjalanan Vol. I (1988)
• Perjalanan Vol. II (1988)
• Seleksi Album Emas (1990)
• Seleksi Album Emas II (1994)
• 16 Lagu Puisi Cinta Ebiet G. Ade (1995)
• Kumpulan Lagu-Lagu Religius (1996)
• Hidupku MilikMu - Kumpulan Lagu-Lagu Religius Vol. II (1996)
• 21 Tembang Puisi Dan Kehidupan (1996)
• 20 Lagu Terpopuler (1997)
• Lagu-Lagu Terbaik (1997)
• Renungan Reformasi (1997)
• 16 Koleksi Terlengkap Ebiet G. Ade (1997)
• 12 Lagu Terbaik Ebiet G. Ade (1979-1986; 1997)
• 12 Lagu Terbaik Ebiet G. Ade Volume II (1979-1986; 1997)
• Ilham Seni (1998)
• Best of the Best (1999)
• Akustik (2001)
• Balada Country (2002)
• M. Nasir vs Ebiet G. Ade - Penyair Nusantara (2002)
• Nyanyian Cinta (2003)
• Tembang Renungan Hati (2003)
• Tembang Slow (2004)
• Kumpulan Lagu-Lagu Terbaik (2004)
• 22 Lagu Hits Sepanjang Masa (2005)
• Yogyakarta (2006)
• Tembang Cantik (2006)

Lagu dari album lain

• Untuk Anakku Tercinta (1983)
• Surat Dari Desa (1987) dalam album Lomba Cipta Lagu Pembangunan 1987.
• Berita kepada Kawan (1995; versi duet dengan M. Nasir)
• Mengarungi Keberkahan Tuhan (2007; ditulis bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono)
Penghargaan
Ebiet G. Ade telah menerima sejumlah penghargaan, antara lain[8]:
• 18 Golden dan Platinum Record dari Jackson Record dan label lainnya dari album Camellia I hingga Isyu!
• Biduan Pop Kesayangan PUSPEN ABRI (1979-1984)
• Pencipta Lagu Kesayangan Angket Musica Indonesia (1980-1985)
• Penghargaan Diskotek Indonesia (1981)
• 10 Lagu Terbaik ASIRI (1980-1981)
• Penghargaan Lomba Cipta Lagu Pembangunan (1987)
• Penyanyi kesayangan Siaran Radio ABRI (1989-1992)
• BASF Awards (1984 - 1988)
• Penyanyi solo dan balada terbaik Anugerah Musik Indonesia (1997)
• Lagu Terbaik AMI Sharp Award (2000)
• Planet Muzik Awards dari Singapura (2002)
• Penghargaan Lingkungan Hidup (2005)
• Duta Lingkungan Hidup (2006)
• Penghargaan Peduli Award Forum Indonesia Muda (2006)
• Sejumlah penghargaan dari berbagai lembaga independen.

Read Full Article»