Kamis, 25 Februari 2010

Catatan Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

Catatan Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945
Penerbangan Maut Bung Karno


Oleh: M.S. Kamah* SEPANJANG Tahun 1941-1943 Perang Dunia ke - II Jepang berada di atas angin. Sesudah menggempur Pearl Harbour Hawai pada 7 Desember 1941, Jepang dengan mudah menduduki seluruh wilayah Asia Tenggara. Lanjutannya Irian, Kepulauan Salomon,Rabaul diduduki Darwin kota paling utara Australia di bom.

Memasuki Tahun 1943 sekutu mengadakan serangan balasan. Awal tahun 1944 Jepang mulai terdesak. Kemudian Philipina direbut kembali dari tangan Jepang melalui pertempuran sengit, Okinawa diduduki Sekutu.

Walaupun sejak tahun 1944 Jepang mengalami kekalahan-kekalahan diberbagai Medan pertempuran dan wilayah - wilayah yang telah didudukinya direbut kembali oleh sekutu (Amerika serikat), tetapi wilayah Indonesia masih 98 % berada di tangan Jepang.

Di Irian (Papua)yang direbut sekutu pada tahun 1944 hanya kota Holandia (Jaya pura) dan sekitarnya, Biak dan Morotai. selebihnya tetap berada di tangan Jepang.

Sejak awal Jepang menduduki Indonesia, Jepang tahu persis Indonesia sejak tahun dua puluhan telah mengumandangkan keinginannya untuk lepas dari belenggu penjajah. Menyadari bahwa semangat kemerdekaan yang dipelopori Bung Karno ini bisa mengganggu Jepang, maka pada awal kehadirannya di Indonesia lagu kebangsaan Indonesia Raya diizinkan oleh Jepang untuk dinyanyikan di tingkat sekolah rendah (sekolah dasar) setiap pagi sebelum Taiso (olahraga) Indonesia raya berkumandang sampai ke pelosok desa. Akan tetapi tidak cukup satu tahun kemudian Indonesia Raya dilarang. Jepang bertindak kejam dimana-mana. Namun demikian, perjuangan menuju Indonesia merdeka tetap muncul ke permukaan.

Awal tahun 1945 situasi perang semakin tidak menentu. Jepang terdesak di seluruh medan tempur. Kepulauan Salomon, Irian, Morotai, Filipina dan sebagainya telah direbut kembali oleh sekutu. Bung Karno memantau dengan seksama situasi perang. Diadakan pendekatan - pendekatan khusus dengan penguasa Jepang di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. Sebaliknya Jepang menyadari bahwa kekalahan telah berada di ambang pintu menempatkan diri sebagai penguasa yang dapat mengerti arti kemerdekaan bagi sesuatu Bangsa. Awal 1945 ketika situasi perang benar-benar sangat tidak menguntungkan Jepang, Bung Karno - Bung Hatta mengadakan persiapan khusus menghadapi akhir perang dunia ke II.

Sesudah diadakan pembicaraan dengan penguasa Jepang di Indonesia diputuskan Bung Karno-Bung Hatta akan terbang menuju Indocina Saigon menemui Marsekal Tarauchi Panglima tertinggi Jepang wilayah Asia Tenggara. Maksudnya untuk membicarakan persiapan Indonesia menghadapi Kemerdekaan.

Bagi Bung Karno sendiri untuk menuju Indocina adalah suatu perjalanan sangat berat dan penuh resiko. Angkatan perang Jepang sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan di mana-mana kapal perang dan pesawat tempur Jepang dihancurkan. Namun demikian Bung Karno tetap bertekad untuk ke Indocina.

Pada saat bersiap-siap terbang ke Saigon, Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus telah diserang dengan Bom Atom oleh Amerika Serikat. Karena situasi tidak begitu jelas diputuskan perjalanan menuju Indocina dilakukan pada 9 Agustus 1945 Jepang setuju. Sebuah pesawat penumpang tua disiapkan di lapangan terbang Kemayoran.

Rombongan terdiri dari Bung Karno, Bung Hatta, Dr Radjiman (Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan Dr.R. Soeharto dokter pribadi Bung Karno.

Dr. R. Soeharto seorang dokter Indonesia dan kemudian tahun 1942 menjadi dokter pribadi Bung karno punya catatan-catatan Khusus atas pengalamannya selama mendampingi Bung Karno.

Dalam bukunya berjudul "Saksi Sejarah" Dr. R. Soeharto menulis tidak kurang 25 judul catatan khusus itu.

Menyangkut penerbangan maut Jakarta - Indocina Dr. R. Soeharto antara lain menulis.

"Pada 9 Agustus 1945 subuh dengan berbekal kopor pakaian dan obat-obatan saya sudah siap menyertai Bung Karno dan Bung Hatta dalam suatu gambling and desperate flight (penerbangan maut) keluar negeri ", catatan Soeharto.

Ketika Soeharto bertanya kepada Bung Karno, mau kemana, Bung Karno menjawab, "Rahasia".

Memang benar-benar rahasia, sebab ketika tiba di lapangan terbang Kemayoran tidak ada pengantar. Disamping Bung Karno, Bung Hatta, Dr.Radjiman dan Dr. R. Soeharto siap dekat pesawat penumpang yang punya kapasitas 25 penumpang dan sudah sangat tua itu nampak beberapa perwira Jepang, di antaranya Miyoshi penerjemah.

Melihat kondisi pesawat sangat tua, Dr.R.Soeharto bertanya dalam hati apa pesawat bisa terbang ke Indocina.

Sesudah terbang dengan goncangan-goncangan yang cukup menegangkan pesawat mendarat di Singapura. Ketika lepas dari landasan Singapura Situasi semakin gawat. Pesawat terasa oleng. Sering-sering terbang tinggi lalu meluncur ke bawah. Rupanya pesawat mau menghindar dari sergapan pesawat Sekutu.

"Pesawat yang kami tumpangi terasa zig-zag, berkali-kali tangan saya berpegang erat pada tempat duduk, dan nafas terasa sesak bilamana di kejauhan nampak asap mengepul dan bergulung-gulung, lalu pesawat kami terbang menjauh dan sengaja bersembunyi di tengah-tengah awan'', tulis Soeharto.

Ketika berada di atas kota Saigon, pesawat berputar beberapa kali dan akhirnya tidak berhasil mendarat. Rupanya ada serangan pesawat sekutu. Untuk itu pesawat mendarat di sebuah landasan darurat yang jaraknya seratus kilometer dari Saigon. Pendaratan yang dilakukan waktu malam itu benar-benar sangat mencekam.

Rombongan Bung Karno di lapangan darurat itu harus berjalan kaki dalam kegelapan. Lalu datang mobil penjemput yang juga tidak pakai lampu. Bung Karno tetap tenang-tenang saja. Malam itu Bung Karno dan rombongan menginap di bekas Istana Gubernur jenderal Perancis yang mewah.

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan Marsekal Tarauchi Panglima tertinggi Jepang Wilayah Asia Tenggara, Bung Karno siap-siap kembali ke Jakarta. Dr. R. Soeharto merasa mereka tidak bisa kembali lagi karena ada desas-sesus Jepang telah bertekuklutut. Dengan demikian Soeharto punya kesimpulan bahwa tidak akan ada lagi pesawat yang dapat digunakan untuk kembali ke Jakarta. Dari seorang perwira menengah Jepang diperoleh penjelasan singkat bahwa perang telah berakhir.

Akhirnya pada 13 Agustus 1945 pagi rombongan bertolak dari Saigon menuju Singapura dengan menggunakan pesawat pembom tua. Kalau dalam penerbangan Jakarta-Singapura-Indocina turut serta beberapa orang perwira Jepang sebagai pendamping, maka dalam penerbangan kembali tidak ada seorang pun orang Jepang turut serta selain dua orang pilot. Pesawat tidak punya tempat duduk (maklum pesawat tempur/pembom). Rombongan duduk di lantai pesawat. Ketika pesawat sudah mengangkasa Bung Karno ingin buang air kecil. Tidak ada kamar kecil. Untung ada lubang dilantai pesawat.

Pesawat tua yang sudah puluhan kali bertempur melawan pesawat sekutu terbangnya tidak stabil. Zig-zag atau turun naik, terasa sukar dikendalikan. Tiba-tiba rombongan merasa pesawat berguncang keras dan turun tajam. Tanpa pemberitahuan apa pun dari kedua pilot Jepang itu, pesawat mengadakan pendaratan darurat di sebuah lapangan terbang yang tidak diketahui oleh rombongan dimana dan apa namanya. Rupanya pesawat menghindar dari sergapan pesawat Sekutu. Sesudah itu pembom ukuran kecil itu melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Bung Karno tenang-tenang saja.

Di Singapura rombongan Bung Karno diterima oleh jenderal Itagaki, Panglima tentara Jepang di Singapura. Dari Singapura rombongan melanjutkan penerbangan menuju Jakarta dengan menggunakan pesawat penumpang.

Penerbangan Bung Karno dan rombongan ke Indocina itu digambarkan Dr. R.Soeharto sebagai penerbangan yang menegangkan dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berani menghadapi tantangan. Kesimpulannya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang punya cita-cita agung bagi masa depan manusia (bangsa).

Setibanya di Jakarta Bung Karno - Bung Hatta mengadakan pembicaraan lagi dengan beberapa Jenderal Jepang yang punya kedudukan penting, antara lain laksamana Yoichiro Shibata, Panglima Angkatan Laut Jepang di Bali. Awal Perang Shibata bermarkas di Makassar. Ketika pesawat-pesawat sekutu mulai menggempur Indonesia bagian Timur, Shibata pindah ke Bali.

Laksamana Shibata sangat pro Indonesia. Ketika terakhir Bung Karno menemukan di Bali, Jepang waktu itu telah menyerah. Namun diam-diam Shibata memberikan bantuan senjata. Maksudnya jelas mempersejatai pejuang-pejuang (pemuda) Indonesia menghadapi Belanda nanti yang sudah dapat diduga siap-siap masuk ke Indonesia lagi sesudah Jepang menyerah.

Tahun 1950 ketika Dr. R. Soeharto mengunjungi Jepang, Bung Karno menitipkan "oleh-oleh" khusus untuk Shibata. Sorharto mengunjungi kediaman Shibata di Kota Yokohama. Sangat sederhana "Saya sangat terharu", kesan Dr. R.Soeharto.

Ketika berada di Saigon, disaksikan Marsekal Tarauchi diumumkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Ketua Bung Karno dan wakil ketua Bung Hatta. Angota-anggota Dr.Rajiman, Dr.R.S.Ratulangi, Mr.Pudja, Andi Pangeran, Mr.Latuharhay, Mr. Teuku Moh.Hasan, Dr.Moh.Amir, Mr.Abdul Abbas, Sutardjo Kartohadikusumo, R.P Suroso, P.H Purboyo, G.P.H.Suryohamidjoyo, Otto Iskandardinata, Ki Bagus Hadikusumo, K.H.Wahid Hasyim, A.A Hamidan, Abdul Kadir, Prof.M.Dr.Supomo, Dr.Yap Tjiwan Bing dan penasehat Mr.R.A. Subardjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar